Tentang Malaikat dan Pahlawan: An Entrée

Setan dihukum menjadi pengelana, mengembara dalam resah, tanpa siapapun menjadi tempat pulang. Sifatnya yang seperti malaikat membuatnya diberkahi dengan semacam kekuasaan cair di awang-awang, dan bagian dari hukuman itu adalah…tak punya ruang dan tempat tinggal, tempatnya beristirahat.

Daniel Defoe, The History of the Devil

  1. I. Jibril Sang Malaikat

1.

“Untuk terlahir lagi,” Jibril Farishta berkata sambil tersandung jatuh dari surga, “pertama kau harus mati. Hoji! Hoji! Untuk mendarat di tanah yang sintal-subur, kau harus terbang dahulu. Tat-taa! Taka-thun! Bagaimana bisa tersenyum lagi, jika tak lebih dulu menangis? Bagaimana bisa kau rebut hati cintamu, Tuan, jika tanpa desahan? Baba, jika kau ingin terlahir lagi…” Tepat sebelum fajar merekah, pada sebuah pagi di musim dingin, saat Tahun Baru atau di dekat-dekat masa itu, dua manusia jatuh dari ketinggian dua ribu dua kaki, menuju Kanal Inggris, tanpa parasut maupun sayap, meluncur turun begitu saja pada sebuah langit jernih tak berawan.

“Kubilang kau harus mati, kubilang, kubilang begitu,” dan memang, di bawah bulan pualam, hingga sebuah suara melintas memecah malam, “Persetan dengan nada-nadamu,” kemudian kata-kata menggantung bagai kristal di malam sedingin es, “dalam film-film kau hanya meniru gerakan bibir para penyanyi, jadi, simpan suara-suara menyeramkan itu untukmu sendiri.”

Jibril, penyanyi solo tanpa nada, berjumpalitan riang-riang bermandi sinar rembulan sambil bernyanyi lagu gazal Persia asli yang tak pernah ia bawakan, berenang di udara dengan gaya kupu-kupu, gaya dada, menggulung tubuh hingga membulat seperti bola, lalu merentangkan kaki dan tangan selebar-lebarnya di ruang hampir tak berbatas pada subuh hampir pagi, berpose dengan gaya sok anggun, merangkak dengan kepala tegak seperti anjing berwibawa, lalu setegah duduk, mencari celah untuk sedikit bermain-main melawan gravitasi. Ia bergulung bahagia ke sumber suara sinis tadi. “Ohé, Salad baba, kau juga baik-baik saja. Bagus, Sobat Tua.” Yang diajak bicara adalah sebuah bayangan berpembawaan rapih, meluncur turun dengan kepala di bawah, memakai setelan kelabu terkancing hingga leher, tangan lurus di samping tubuh, mengacuhkan keberadaan topi bulat di kepala, bibirnya merengut, tak suka namanya diganti-ganti sembarangan. “Hey, Spoono,” teriak Jibril, memperdalam kerutan si bayangan yang bertambah sebal akibat kelakuannya, “London yang Benar, bhai! Kita sudah sampai! Bajingan-bajingan di bawah itu nggak akan sadar apa yang menghantam mereka. Apakah meteor atau halilintar atau azab Tuhan. Kita datang dari ketiadaan, Sayang. Dharrraaammm! Jebrét, na? Cara masuk yang keren, yaar. Sumpah: ceprot.”

Dari ketiadaan: suara gaduh, lalu bintang jatuh. Sebuah awal universal, gema mini dari lahirnya waktu… pesawat jumbo jet Bostan bernomor AI-420, mendadak meledak berkeping-keping, di atas langit kota besar Mahoganny, Babylon, Alphaville, bersinar indah seputih salju namun membusuk. Tapi Jibril telah menamainya, dan aku tak boleh ikut campur: London yang Benar, ibukota dari Vilayet, berkedip mengerjap mengangguk malam ini. Sementara jauh tinggi di pegunungan Himalaya cahaya matahari terlalu pagi menyembur cepat dan hangat udara Januari selembut bubuk, setitik cahaya menghilang dari layar radar, lalu langit dipenuhi mayat berjatuhan dari pucuk Everest-nya bencana ke laut pucat putih susu.

Siapa aku?

Siapa lagi yang masih hidup?

Pesawat terbelah dua, seperti kantung benih menyebarkan spora, seperti telur membuka rahasianya. Dua pelakon, Jibril Si Penceramah dan Si Kancing yang merengut alias Tuan Saladin Chamcha, jatuh bagai serpihan tembakau dari potongan cerutu tua. Di atas, di belakang, dan di bawah mereka, dalam kekosongan, melayang kursi-kursi besar, headset stereo, troli minuman, nampan yang tadinya menyulitkan, kartu perjalanan dari bandar udara, permainan video dari toko bebas cukai, tutup kepala berkepang, gelas kertas, selimut, masker oksigen. Dan karena ada beberapa penumpang migran—ya, sejumlah istri-istri yang terpanggang dengan alasan dan tugas domestik semisal mengetahui letak kutil di sepanjang genital para suami serta anak-anak yang legitimasinya selalu diragukan Pemerintah Inggris—mereka juga bercampur dengan reruntuhan pesawat, sama-sama tercerai-berai, sama-sama absurd, dan reremahan jiwa bergabung dengan ingatan-ingatan samar, diri yang terkelupas, bahasa ibu patah-patah, privasi yang terlanggar, guyonan tak terjemahkan, masa depan yang padam, cinta yang hilang, dan maksud dari berhamburannya kata-kata kosong namun terlupakan—tanah, milik, rumah. Ledakan hebat mempercepat laju Jibril dan Saladin seperti buntalan berisi bayi yang dijatuhkan Bangau canggung, dan karena Chamca meluncur dengan kepala lebih dulu, dengan posisi seperti janin memasuki liang lahir, ia agak terganggu karena rekannya menolak jatuh dengan biasa saja. Hidung Saladin akan menghantam tanah sementara Farishta merangkul udara, memeluknya erat-erat dengan seluruh kaki dan lengan, pelakon yang antusias melambai-lambai tanpa teknik menahan diri sedikitpun. Di bawah, tersaput awan, pintu masuk mereka menunggu, arus English Sleeve pelan menggumpal, zona pilihan bagi reinkarnasi berair mereka.

“Oh, sepatuku dari Jepang,” Jibril bernyanyi, menerjemahkan lagu lama ke dalam bahasa Inggris, setengah sadar terhadap negara induk semang mereka yang melesat maju. “Celana ini dari Inggris, agar kau tak sinis. Di atas kepala, topi dari Rusia; namun hatiku tetap India, tetap mencinta.” Awan menggelembung menuju mereka, dan mungkin akibat mistikus kumulus dan kumulonimbus maka kepala kilat bergulung dan berdiri bagai palu di waktu pagi, atau mungkin karena nyanyian (yang satu sibuk tampil, yang lain sibuk mengolok), atau karena ledakan—kebingungan penyelamat dari kejadian yang sudah mereka tahu sebelumnya… namun apapun alasannya, dua lelaki itu, Jibrilsaladin Farishtachamca, dikutuk dalam kejatuhan yang jahat layaknya setan sekaligus baik menyerupai malaikat, tanpa akhir namun berujung, dan mereka tidak menyadari bagaimana proses transmutasi mereka dimulai.

Mutasi?

Ya, Tuan, tapi tidak acak. Jauh di angkasa, di saujana lembut tak terperi hasil terpaan berabad-abad dan, karena itu, membuat ukuran “abad” menjadi mungkin, adalah salah satu lokasi yang bisa dijelaskan, tempat dimana pergerakan dan perang, pengerdil planet dan kosongnya kekuasaan, zona-zona paling tidak nyaman dan menjadi persinggahan, ilusi, ketidaksinambungan, metamorfosa—karena ketika kau lempar apapun ke atas maka semua menjadi mungkin—di sana, bagaimanapun, perubahan mendapat tempat pada para aktor berhalusinasi yang meriangkan hati Tuan Lamarck tua; di bawah tekanan lingkungan ekstrim, ciri khas akan didapatkan.

Ciri khas apa di mana? Sebentar; kau pikir Penciptaan terjadi dengan bergegas? Jadi, begitu juga dengan wahyu… cermati saja keduanya. Perhatikan, ada yang aneh? Hanya dua lelaki coklat, jatuh dengan keras, tak ada yang baru, begitu menurutmu; mendaki terlalu tinggi, lebih tinggi dari diri mereka, terbang terlalu dekat pada mentari, begitu, bukan?

Bukan seperti itu. Dengar:

Tuan Saladin Chamcha, tertarik karena bebunyian dari mulut Jibril Farishta, berkutat dengan ayat-ayat versinya sendiri. Mengambang melintas langit malam sesayup sampai di telinga Farishta adalah lagu lama juga, lirik ditulis Tuan James Thomson, seributujuhratus atau seribu-tujuh-ratus-empat-puluh-delapan. “… atas perintah Surga,” seru Chamcha bernyanyi gembira dengan mulut komat-kamit merahputihbiru kedinginan, “bangkiiiiiiit dari birunya langit.” Farishta ketakutan, bernyanyi lebih keras dan keras lagi tentang sepatu Jepang, topi Rusia, hati yang tak terpengaruh subkontinen, namun tak tahan dengan “ngaji” yang dibawakan Saladin. “Dan malaikaaaaaaaat penjaaga menyanyikan pantangan.”

Begini: mustahil bagi mereka mendengar suara satu sama lain, apalagi bicara dan bernyanyi keras-kerasan. Mereka meluncur maju menuju wajah planet, atmosfir melayang kencang di sekitar mereka, bagaimana mungkin? Tapi yah… begitulah: mereka bisa.

Bawah ke bawah mereka meluncur, angin musim dingin membekukan bulu mata dan mengancam akan membekukan hatilah yang membuat mereka terbangun dari mimpi halusinasi, hampir menyadari keajaiban nyanyian, hujan anggota tubuh dan serpihan bayi dimana mereka adalah bagian darinya, dan teror akan takdir yang bergegas menunggu mereka di bawah, saat mereka menghantam, langsung kuyup dan membeku saat itu juga oleh didihan gemawan dingin pada titik beku.

Mereka meluncur di tempat yang seperti lorong panjang vertikal. Chamcha, rapih, kaku, dan masih terbalik melihat Farishta mengenakan kemeja ungu berantakan berenang menghampiri terowongan berdinding awan, lalu teriak, “Sana, jauh-jauh dariku,” namun sesuatu mencegahnya, awal dari apa yang nanti jadi teriakan bergetar dari dalam jeroan sendiri, jadi, alih-alih ia usir Farishta, Chamcha malah membuka lengan lebar-lebar dan Farishta berenang masuk hingga mereka berpelukan kaki dengan kepala, dan tumbukan mereka berakibat jungkir-balik berkali-kali, mengirim komidi putar dari dua tubuh mereka ke bawah, ke lubang menuju Antah-berantah; dan saat mereka berkutat melepaskan diri dari semua serbaputih naiklah sekumpulan awan berbagai bentuk, tak berhenti berubah, dari dewa-dewa ke banteng, perempuan menjadi laba-laba, lelaki kemudian serigala. Mahluk-mahluk gemawan hibrid itu mendesak mereka, bunga raksasa dengan payudara menggantung dari batang gendut, kucing bersayap, centaur, dan Chamcha, setengah pingsan, menyadari bahwa dirinya juga memiliki kualitas setegah awan, jadi metamorforik, hibrid, seakan ia tumbuh menjadi orang dengan kepala di selangkangan dan tungkai terbalut di samping leher panjang seperti aristokrat Inggris.

Yang lain tak ada waktu untuk “falusasi tinggi” semacam itu; dan dia sama sekali tidak mampu berfalusasi; lalu ia melihat, muncul dari gumpalan awan, sesosok perempuan anggun namun tak lagi muda, mengenakan sari brokat hijau-emas, dengan berlian di hidung dan lapisan minyak mempertahankan sanggul tinggi dari terpaan angin angkasa, lalu duduk, tak terguncang, di atas karpet terbang “Rekha Merchant”, dan Saladin menyapa. “Kau tidak tahu jalan ke surga atau apa?” Pertanyaan tidak peka sama sekali pada orang mati! Namun kondisinya yang agak gegar otak dan jumpalitan memang membuat maklum.

… Chamcha, memegang kaki erat-erat, berkata datar: “Demi neraka!”

“Kau tidak lihat perempuan itu?” teriak Jibril. “Kau tak lihat karpet Bokhara bangsat itu?”

_Jangan, jangan, Gibbo_ suara perempuan berbisik di telinganya _jangan tanyakan dia. Aku hanya terlihat oleh matamu, mungkin kau mulai gila, atau bagaimana, namaqool, dasar kau kotoran babi, cintaku. Kematian membawa kejujuran, kekasih, jadi, kini aku dapat memanggil nama aslimu._

Rekha Berawan membisikkan kalimat-kalimat getir, namun Jibril kembali teriak ke Chamcha: “Spoono? Kau lihat dia tidak?”

Saladin Chamcha tak melihat apapun, tak mendengar apapun, tak berkata apapun. Jibril menghadapi perempuan itu sendirian. “Harusnya tak kau lakukan itu,” ujarnya sinis. “Jangan. Itu dosa. Yang begitu itu.”

_O, kau memberiku kuliah sekarang,_ ujarnya sambil tertawa. _Kau satu-satunya dengan standar moral tinggi, itu bagus. Kau yang meninggalkanku,_ suara perempuan itu dekat sekali di kuping kiri, seperti menggelitik daun telinganya dengan gigitan-gigitan lembut. _Dan engkaulah, O bulan kesukaanku, yang bersembunyi di balik awan. Di kegelapan, buta, sesat, karena cinta._

Jibril jadi takut. “Kau mau apa? Tidak, jangan katakan. Pergi saja sana.”

_Ketika kau sakit aku tak bisa menjengukmu karena takut skandal, dan kau tahu aku tak bisa, aku menjauh demi dirimu, namun sesudahnya kau menghukum, kau gunakan kejadian itu sebagai alasan untuk pergi, sebagai awan untuk sembunyi. Itu, dan juga dia, si perempuan sedingin es itu. Bangsat. Sekarang aku sudah mati dan aku lupa cara memaafkan. Aku kutuk kau, Jibrilku, semoga hidupmu bagai neraka. Neraka, karena ke sana lah kau mengirimku, kurang ajar, itu tempatmu, setan, dan ke situ kau menuju, bedebah, nikmati berendam dalam darah._ Rekha mengutuk; dan setelah itu, ayat-ayat dikumandangkan dalam bahasa yang tak dimengerti, dengan suara kasar dan mengerikan, yang menurutnya hanya ada di pikiran, namun mungkin memang begitu adanya, dan nama yang berulang-ulang disebut—Al-Lat.

Jibril berpegang pada Chamcha erat-erat; dan mereka melesat menembus dasar awan.

Kecepatan—sensasi kecepatan—datang lagi, bersiul tentang nada mengerikan. Atap awan terbang ke atas, lantai air membesar mendekat, mata mereka membelalak lebar. Teriakan, bunyi teriakan yang sama yang menggumpal dari dalam jeroannya saat Jibril berenang melintas langit kini keluar dari bibir Chamcha; seberkas sinar mentari melesat menusuk mulut terbuka dan membebaskan teriakan itu. Namun mereka jatuh ke dalam transformasi gemawan, di pinggirnya, dan saat berkas sinar menimpa Chamcha, ia melepas lebih dari sekedar bunyi:

“Terbang,” Chamcha menjerit ke Jibril. “Ayo terbang, sekarang.” Lalu menambahkan, tanpa tahu dari mana pengetahuannya berasal, perintah ke dua: “Dan bernyanyilah.”

Bagaimana hal-hal baru datang ke dunia? Bagaimana mereka dilahirkan?

Dari fusi, penerjemahan, penggabungan apa mereka dibuat?

Bagaimana ke-baru-an itu bisa bertahan, meskipun berbahaya dan ekstrim? Atas dasar kompromi, persetujuan, penghianatan atau rahasia apa maka ke-baru-an itu bisa luput dari reruntuhan, malaikat pemusnah, pisau guillotine?

Apakah kelahiran itu selalu jatuh?

Apa malaikat punya sayap? Bisakah manusia terbang?

Saat Tuan Saladin Chamcha jatuh dari awan menuju Kanal Inggris, ia merasa jantungnya digenggam kekuasaan yang luarbiasa tak tergantikan hingga ia paham betul ia mustahil mati. Setelahnya, ketika kakinya mantap menjejak tanah sekali lagi, ia akan mulai meragukan hal itu, menjelaskan kemungkinan persinggahannya pada kekacauan persepsi akibat ledakan, dan menyebut keselamatan dirinya dan Jibril sebagai keberuntungan buta dan bodoh. Namun saat ini dia tak punya keraguan sedikit pun; apa yang membuatya bertahan adalah keinginan untuk hidup, murni, tak tertahankan, suci, dan yang pertama dilakukan “keinginan” itu adalah menegaskan bahwa ia tak ingin mencampuri sifatnya yang menyedihkan, berhubungan dengan peniruan dan suara yang setengah jadi, dan “keinginan” itu hanya ingin mencari jalan pintas dari semuanya, dan ia menyerah begitu saja, ya, silahkan, seakan ia hanya orang lewat di benaknya sendiri, dalam tubuh sendiri, karena semua dimulai di titik tengah paling pusat dari dirinya lalu menyebar ke seluruh badan, mengubah darah jadi besi dan daging jadi baja, namun juga terasa seperti kepalan yang melingkupi dari luar, menggenggamnya erat-erat sekaligus lembut tak terperi; sampai akhirnya kepalan itu memenangkan dirinya utuh-seluruh kemudian membuat mulut, jemari, dan apapun yang dia pilih, bekerja, dan saat ia yakin pengalihan kekuasaan itu memancar keluar dari tubuhnya ia tarik “biji” Jibril Farishta.

“Terbang,” serunya—perintahnya—lagi pada Jibril. “Nyanyi.”

Chamcha berpegangan pada Jibril sementara yang dipegang mulai—pertama lambat-lambat lalu berubah lebih kencang dan bertenaga—mengepakkan lengan. Makin keras dan keras ia mengepak, dan sambil mengepak ia bernyanyi sambil teriak, dan seperti apa yang dinyanyikan penampakan Rekha Merchant, ia bernyanyi dengan bahasa yang tak pernah dia tahu dengan nada yang tak pernah dia dengar. Jibril tak menolak keajaiban yang dialami, tak seperti Chamcha yang selalu mencari alasan dari tiap kejadian, dan tak berhenti berkata bahwa gazal Persia itu mungkin wangsit, dan tanpa nyanyian itu kepakan mereka tak berarti apa-apa, dan jika tak bisa mengepak maka mereka akan menghantam ombak seperti batu atau hancur berkeping-keping saat bersentuhan dengan bentangan laut. Dan mereka melambat. Semakin Jibril bernyanyi dan mengepak, mengepak dan bernyanyi, penuh penjiwaan, maka semakin mantap deklarasi itu dikumandangkan sampai akhirnya mereka melayang menghampiri Kanal seperti sobekan kertas dipermainkan angin.

Hanya mereka yang selamat dari kecelakaan itu, mereka yang jatuh tersisa dari Bostan dan hidup. Keduanya ditemukan terdampar di pantai. Yang paling cerewet, yang mengenakan kemeja ungu, bersumpah sambil menceracau bahwa mereka berjalan di atas air, dan ombak menghantar mereka dengan lembut ke pantai; namun yang lain, yang di kepalanya masih menancap topi bulat kuyup seakan disulap, menyangkalnya. “Ya Tuhan, kami beruntung,” ujarnya. “Seberapa beruntung kau bisa selamat, coba?!”

Tentu, Aku tahu kebenarannya. Aku yang mengamati semua kejadian dari awal. Sebagai Yang Maha Kuasa, Aku tak membuat klaim apapun saat itu, dan Kurasa sampai sejauh ini masih bisa Kuatasi. Chamcha menginginkannya dan Farishta melakukan apa yang diinginkan.

Yang mana yang bekerja untuk keajaiban?

Jenis apakah—sebaik malaikat atau sejahat setan—lagu yang dinyanyikan Farishta?

Siapa Aku?

Begini saja: siapa yang nyanyiannya paling indah?

Semua adalah kata-kata pertama yang diucapkan Jibril Farishta saat ia terbangun di pantai Inggris yang akan bersalju dengan kemungkinan adanya bintang laut menempel di telinga: “Terlahir lagi, Spoono, kau dan aku. Selamat ulang tahun, Tuan; selamat ulang tahun untukmu.”

Sementara itu Saladin Chamcha batuk, menyembur, membuka mata, dan, sebagaimana bayi yang baru lahir, ia menangis tolol.

2.

Reinkarnasi selalu menjadi topik hangat bagi Jibril, selama lima belas tahun ia menjadi bintang paling bersinar di sejarah perfilman India, bahkan sebelum ia kalahkan Gangguan Bayangan secara “ajaib” yang dipercaya orang akan mengakhiri kontraknya. Jadi, seharusnya seseorang dapat mengira—hanya saja tak ada yang mau melakukannya—ketika ia bangkit dan berdiri lagi ia akan tetap berhasil saat bakteri-bakteri itu gagal dan pergi dari hidupnya seminggu sebelum ulang tahun ke empat puluh, menghilang, “poof!”, seperti sulap, ke udara kosong.

Orang pertama yang menyadari ketidakberadaannya adalah empat anggota tim kursi roda merangkap tim studio film. Jauh sebelum ia sakit Jibril punya kebiasaan untuk berpindah dari dan ke set studio D.W. Rama yang besar dengan sekelompok atlit terpercaya dan cekatan, karena orang yang harus membuat sebelas film secara “sy-multan” harus menghemat energi baik-baik. Dipandu sistem kode rumit yang terdiri dari garis miring, bulatan dan titik yang diingat Jibril dari dari masa kecilnya dulu, diantara cerita tentang pengantar makan siang dari Bombay (dan banyak lagi kemudian), pendorong kursi mengantarnya dari peran ke peran, menghadirkan dirinya setepat ayahnya mengantar makan siang dahulu. Setelah pengambilan gambar usai, Jibril akan kembali ke kursinya untuk kemudian diantarkan ke set berikutnya dengan kecepatan tinggi, didandani, dipakaikan kostum, dan diberi naskah. Ia sempat berkata pada salah satu kru: “Karir besar yang hangat diomongkan orang itu tak lebih dari lomba kursi roda yang berhenti sekali-dua sepanjang perjalanan.”

Setelah sembuh dari sakit, atau Bakteri Hantu, atau Kemalangan Misterius—atau singkatnya, Gangguan—Jibril kembali bekerja, kembali beradaptasi, kali ini hanya tujuh film dalam satu waktu… kemudian, mendadak, dia tak lagi berada di sana. Kursi roda teronggok tanpa penghuni diantara sistem audio panggung terbungkam; ketiadaannya mengungkap kepalsuan megahnya studio. Salah seorang diantara empat pendorong kursi bersuara, meminta maaf atas menghilangnya sang bintang ketika seorang eksekutif film mendamprat mereka: Ji, dia sedang nggak enak badan, padahal dia terkenal tepat waktu, tidak, mengapa harus menasehatinya, maharaj, artis besar harus dibiarkan memanjakan temperamennya sekali-sekali, na. Dan untuk pembelaan itu mereka menjadi korban pertama atas menghilangnya Farishta yang zwiiing begitu saja, dipecat, empat tiga dua satu, ekdumjaldi, terusir dari gerbang studio mengabaikan kursi roda berdebu terdampar di bawah rindang gambar kelapa dan pantai berpasir dari serbuk gergaji.

Dimana Jibril? Produser film, yang pergi dengan tujuh hentakan kesal, panik tak berkesudahan. Lihat, di situ, di rangkaian klub golf Willingdon—hanya ada sembilan lubang sekarang ini, dan gedung pencakar langit menyembul dari sembilan lubang lain seperti rumput raksasa, atau, katakanlah seperti nisan yang menandai tempat mayat hancur yang sebelumnya adalah kota tua—itu, di situ, eksekutif eselon atas, malah luput dari lubang paling gampang; dan lihat ke atas, sejumput rambut berantakan dicabut dari kepala eksekutif senior yang sedih, melambai turun dari jendela tinggi di sana. Semua paham kekesalan yang dialami produser, karena di masa ketika jumlah penonton makin berkurang dan opera sabun bersejarah tercipta serta ibu-ibu rumah tangga kontemporer yang berkutat dengan perang suci sendiri di bawah asuhan jaringan televisi, hanya ada satu nama yang—ketika muncul di atas judul—masih menjamin setiap sen dari seratus persen, masih meletupkan api dan menjadikannya Superpopuler, Ultrabeken, dan pemilik nama tersebut telah pergi, entah ke atas, ke bawah maupun ke samping, namun tak diragukan lagi, menghilang, swuuus…

Di seluruh pelosok kota, setelah para petugas telepon, pengendara motor, polisi, marinir dan kapal pukat menyisir pelabuhan dengan seksama namun tanpa hasil, orang mulai ramai membicarakan tulisan di nisan demi mengenang nama seorang bintang yang memudar cerlangnya. Di salah satu dari tujuh panggung Rama Studio yang kini impoten, Nona Pimple Billimoria, aktris seksi-pedas-panas termutakhir—bukan perempuan pemalu-merona-santun namun dinamit dalam kemasan cantik-tegas-galak, terbungkus dalam kostum penari kuil lusuh melucuti kainnya dan berbaring di bawah karton bergetar dengan representasi sosok Tantrik berkopulasi dari masa Chandela, dan ia sadar adegan utamanya tak akan jadi yang utama, dan popularitasnya hanya tinggal nama—mengucap selamat tinggal dengan penuh kebencian pada para penonton yang terdiri dari perekam suara dan ahli listrik yang merokok beedi berwajah sinis. Ia hampiri ayahnya yang tertekan dan hanya bisa melongo, dengan lengan terlipat di depan dada ia mengomel. “Ya ampun, benar-benar “keberuntungan”,” teriaknya. “Hari ini harusnya adegan percintaan, chhi chhi, yang aku tunggu sampai hampir mampus, memikirkan bagaimana caranya bisa berdekatan dengan si bibir tebal bernapas bau tahi kecoak itu.” Gelang kakinya bergemerincing seiring ia menghentak gemas. “Untung saja film itu nggak berbau. Kalau tidak, dia bakal dapat peran sebagai penderita lepra.” Dan solilokui Pimple menemui klimaksnya dengan makian sedemikian kasar hingga membuat para perokok beedi terhenyak duduk dan membandingkan kosakata serapah itu dengan ratu bandit terkenal Phoolan Devi yang sumpahnya melelehkan senapan dan membuat pensil wartawan berubah jadi karet dalam hitungan ke tiga.

Pimple keluar, meratap, tersensor, menjadi serpihan di lantai kamar edit. Batu permata jatuh dari pusarnya saat dia berlalu, mencerminkan airmatanya… perihal bau mulut Farishta ia tak bisa sepenuhnya salah; lagipula ia tak tahu-menahu penyebabnya. Udara yang dihasilkan Jibril memang selalu menyulitkannya, udara yang dihasilkan awan sulfur dan belerang—yang jika digabungkan dengan jambul om-om senang dan rambut sepekat gagak—membuatnya seperti dalam kubangan alih-alih bersinar, meskipun namanya seperti malaikat. Orang-orang bilang jika dia hilang harusnya gampang dicari, yang diperlukan hanya hidung yang sehat… dan seminggu setelah kelenyapannya, cara keluar yang lebih tragis daripada apa yang dibilang Pimple Billimoria, bau menyengat dan jahat itu mulai melekat pada nama yang mewangi selamanya. Kau mungkin akan berkata dia melangkah keluar layar lalu masuk ke dunia nyata, dan dalam hidup, tidak seperti di film, semua orang tahu jika kau bau.

“Kita adalah mahluk udara, Berakar di mimpi Dan gemawan, dilahirkan kembali Saat terbang. Selamat tinggal.” Catatan penuh teka-teki itu ditemukan polisi di penthouse Jibril Farishta yang terletak di lantai teratas gedung pencakar langit Everest Vilas pada Bukit Malabar, rumah tertinggi di gedung tertinggi pada tanah tertinggi di kota, salah satu apartemen dengan dobel pemandangan indah tempat kau bisa melihat lampu-lampu serupa kalung malam pada Marine Drive di satu sisi dan memandang bentangan Scandal Point dan laut, membuat headline surat kabar bertambah sangar. FARISHTA MENYELAM KE BAWAH TANAH sahut Blitz dengan gaya yang mengerikan, sementara lebah pekerja di The Daily mengandangkannya dalam kata-kata JIBRIL TERBANG. Banyak foto tempat tinggal terkenal itu tersebar, dimana para dekorator interior Perancis membawa surat rekomendasi dari Reza Pahlevi tentang pekerjaan mereka di Persepolis yang menghabiskan jutaan dolar untuk menciptakan kembali ketinggian langit-langit pada efek kemah Badui. Ilusi lain yang tergambar karena ketiadaannya; JIBRIL BERKEMAH, seru headline satunya, namun apakah dia ke atas, ke bawah, atau ke samping? Tak satupun yang tahu. Di metropolitan berisi lidah dan bisikan, bahkan telinga tertajam pun kesulitan mendengar yang bisa percaya. Namun Nyonya Rekha Merchant yang membaca surat kabar, mendengar siaran radio, menyimak program TV Doordashan, menarik yang tersirat dari yang tersurat pada pesan Farishta, mendengar catatan yang luput dari perhatian orang, lalu mengajak dua putri dan satu putranya berjalan-jalan menikmati udara di atas ketinggian atap rumahnya. Bernama Everest Vilas.

Mereka adalah tetangga; untuk lebih jelasnya, dari apartemen tepat di bawah. Tetangga dan teman, apa lagi yang bisa Kukatakan? Sudah tentu majalah kota yang penuh skandal dan kenyinyiran telah mengisi penuh-penuh kolom-kolom mereka dengan petunjuk samar dan bisikan lirih, namun bukan alasan bagi mereka untuk menurunkan derajat. Mengapa harus kehilangan reputasi sekarang?

Siapa perempuan itu? Kaya, jelas. Namun Everest Vilas bukan satu-satunya tempat tinggal di Kurla, kan? Menikah, tentu, tiga belas tahun, dengan suami besar-bulat seperti gotri. Ia mandiri, dengan ruang pamer merangkap toko karpet dan perabotan antik yang besar di wilayah “basah” Colaba. Ia serbut karpet-karpetnya sebagai “keliman nan bersih” dan artefak antiknya dengan “anti-queues”—anti antrian. Ya, dan dia cantik, cantik dalam artian keras, paling bersinar diantara penghuni rumah-tinggi di kota yang makin jarang dihuni, tulangnya kulitnya pembawaannya semua adalah saksi atas perceraiannya dulu dengan bumi miskin dan sangat kotor. Semua orang sepakat ia punya kepribadian kuat, minum—seperti ikan—dari kristal Lalique dan menggantung topinya—tanpa malu—di Chola Natraj, tahu apa yang ia inginkan dan bagaimana mendapatkannya, dengan cepat. Suaminya selemah tikus namun punya banyak uang dan penurut. Rekha Merchant membaca surat perpisahan Jibril Farishta di koran, menulis suratnya sendiri, mengumpulkan anak-anaknya, menunggu di depan lift, lalu naik ke surga (satu lantai) untuk menghadapi takdir pilihannya.

“Bertahun-tahun lalu,” begitu pembuka suratnya, “aku menikah karena kepengecutanku. Sekarang, akhirnya, aku melakukan sesuatu yang berani.” Ia tinggalkan surat kabar di ranjang dengan pesan Jibril dilingkari pena merah dan digaris bawah tebal-tebal—tiga kalimat kasar, salah satunya dirobek dengan marah. Mungkin sangat bisa dimaklumi jika kepala berita bangsat yang tertulis tak lain adalah KEKASIH GELAP NAN CANTIK MELOMPAT, dan SI AYU PATAH HATI MENENGGELAMKAN DIRI. Tapi:

Mungkin perempuan itu juga punya gangguan kelahiran kembali, dan Jibril yang tak mengerti betapa berbahayanya metafora, telah merekomendasikan untuk terbang. “Untuk terlahir lagi, pertama kau harus” lagipula ia adalah mahluk angkasa, ia minum sampanye Lalique, tinggal di Everest, dan tetangganya di Olympus memutuskan terbang; dan jika Jibril bisa maka ia harusnya juga bersayap, dan punya akar di mimpi.

Ia gagal. Lala yang dipekerjakan sebagai penjaga gerbang hunian Everest Vilas menawarkan kesaksiannya yang datar pada dunia. “Saya sedang berjalan, ke sini ke sini, cuma di kawasan ini, waktu terdengar bunyi bruk, “tharaaap”. Saya berbalik. Dan ternyata itu mayat putri tertua. Tengkoraknya hancur. Saya mendongak dan melihat si bocah lelaki jatuh, lalu adik bungsunya. Yang bisa saya katakan, semuanya hampir menghantam tempat saya berdiri. Saya menutup mulut dan mendatangi mereka. Gadis yang paling muda mengaduh lirih. Setelah itu saya menengadah lagi dan saat itu Begum jatuh. Sarinya melayang seperti balon besar dan rambutnya terurai. Saya alihkan pandangan karena dia jatuh dan tidak sopan melongok ke dalam rok seorang perempuan.”

Rekha dan anak-anaknya jatuh dari Everest; tak satupun selamat. Orang-orang berbisik menyalahkan Jibril. Namun mari kita tinggalkan dulu sejenak.

Oh: jangan lupa: ia melihat perempuan itu setelah mati. Dia melihatnya beberapa kali. Terjadi lama sekali sebelum orang-orang tahu betapa sakitnya orang besar itu. Jibril, si bintang. Jibril, yang memenangkan Penyakit Tak Bernama. Jibril, yang takut tidur.

Setelah ia pergi gambar wajahnya yang dulu ada di mana-mana mulai membusuk. Dari tumpukan gambar gigantis berwarna semarak tempat ia memandang rakyat, kelopak mata berat dan tebal itu mulai layu dan hancur, makin turun dan turun sehingga irisnya hanya serupa dua rembulan terpotong awan, atau teriris pisau lembut bulu mata yang panjang. Akhirnya kelopak mata itu jatuh, menampakkan matanya yang terlukis, besar dan melotot. Diluar gambar istana Bombay, karton raksasa berbentuk Jibril mulai kusam dan lusuh. Tergantung lunglai pada kawat, lengannya hilang, layu, dan ada patahan di leher. Imaji wajah pada majalah film menunjukkan pucatnya kematian, mata yang kosong, hampa. Dan semua akhirnya menghilang dari halaman media cetak membuat sampul mengilap majalah Celebrity dan Society dan Illustrated Weekly menjadi kosong di kios-kios dan penerbit memecat percetakan yang kemudian menyalahkan kualitas tinta murahan. Bahkan di layar perak, jauh di atas para pemujanya di kegelapan dimana fisik fana seharusnya membusuk, berparut dan memutih; proyektor mendadak macet tiap ia masuk gerbang, film-filmnya berhenti, dan panas lampu proyektor rusak itu membakar ingatan seluloid tentangnya: seorang bintang yang supernova dengan api menjilat-jilat, seakan pas, dari bibirnya.

Saat itu kematian Tuhan. Atau sesuatu yang mirip itu; jika tidak bagaimana mungkin wajah raksasa yang tergantung di atas para pemuja sambil bermandi cahaya sinematis itu bisa bersinar seperti Entitas ilahiah dan membuatnya berada di antara fana dan abadi? Lebih dari itu, banyak orang berpendapat—karena dalam karir uniknya Jibril banyak sekali membuat perwujudan dengan amat sangat meyakinkan—bahwa film tentang dewa-dewa yang jumlahnya tak terhitung di sub-kontinen tersebut pantas berjuluk sebagai “teologikal”. Itu adalah bagian dari keberhasilan ajaib seorang Jibril dalam mendobrak batasan agama tanpa menghina. Berkulit biru seperti Krishna ia menari, seruling di tangan, bersama pada gopi dan sapi-sapi bersusu menggantung berat; dengan daun palem terbalik, dalam ketenangan, ia bermeditasi (sebagai Gautama) atas penderitaan kemanusiaan, di bawah pohon bodhi properti studio. Pada saat-saat yang sangat jarang, saat dia turun dari surga, tak pernah ia pergi terlalu jauh, memainkan, misalnya, Grand Mughal dan menterinya yang terkenal cerdik dalam drama klasik “Akbar dan Birbal”. Selama lima belas tahun lebih ia telah mewakili—di hadapan ratusan juta orang beragama di negara tersebut yang hingga saat ini populasi manusianya lebih banyak daripada dewa-dewa, tiga banding satu—wajah yang paling bisa diterima dan dapat langsung dikenali sebagai wajah Yang Kuasa. Bagi banyak penggemar, batas yang memisahkan antara pelakon dan perannya telah lama tiada.

Penggemar, ya, dan? Bagaimana dengan Jibril?

Wajah itu. Dalam kehidupan nyata, diminimkan menjadi ukuran wajah sesungguhnya, berada diantara mahluk-mahluk fana, dan anehnya, sangat tidak nampak seperti bintang. Kelopak mata yang berat dan turun itu membuat mukanya terkesan lelah. Ada sesuatu yang kasar pada hidungnya, bibirnya terlalu tebal untuk dibilang kuat, dan daun telinganya panjang seperti bonggol nangka muda. Wajah yang paling profan, wajah yang paling sensual. Dan keduanya, belakangan, akhirnya dapat dijahitkan bersama dalam sakit yang nyaris fatal. Namun tidak hanya keprofanan dan kelemahan, wajah ini juga menampilkan—dalam kekacaubalauan—kesucian, kesempurnaan, kasih: sifat-sifat Tuhan. Tak ada urusan dengan selera, itu saja. Dalam kondisi apapun, kau akan sepakat bahwa untuk aktor semacam dia (aktor siapapun, bahkan untuk Chamca, tapi sebagian besar memang untuk Chamca), riweuh perihal avatar, seperti Wishnu yang terlalu banyak mengalami metamorfosa, tidaklah mengejutkan. Lahir kembali: itu sifat Tuhan juga.

Atau, tetapi, yah… tidak selalu. Ada juga reinkarnasi sekuler. Jibril Farishta terlahir sebagai Ismail Najmuddin di Poona, British Poona, pada akhir busuk kerajaan itu, jauh sebelum ada Pune di Rajnees, dll (Pune, Vadodara, Mumbai; nama kota juga bisa berganti nama panggung sekarang ini). Ismail seperti nama anak yang dilibatkan dalam pengorbanan Ibrahim, dan Najmuddin—bintang agama; dan nama hebat itu dicampakkannya setelah memakai nama malaikat.

Setelah itu, saat pesawat—Bostan—berada dalam cengkraman pembajak, dan para penumpang—takut pada nasib yang akan menimpa mereka—kembali ke masa lalu, Jibril mengaku pada Saladdin Chamca tentang pilihan pseudonimnya yang tak lain adalah caranya menghormati kenangan pada ibunda. “Mamijiku, Spoono, Mamoku satu-satunya, karena dialah awal dari bisnis malaikat ini, malaikatnya pribadi, beliau memanggilku “farishta” karena aku teramat sangat manis, boleh percaya atau tidak, aku sama berharganya seperti emas saat itu.”

Poona tak dapat menampungnya; ketika bayi ia dibawa ke kota-sundal, migrasi pertamanya; ayahnya mendapat kerja sebagai pesuruh yang harus berlari, yang menginspirasi kuartet kursi roda di masa depan, pembawa makan siang atau dabbawalla di Bombay. Dan Ismail si farishta pun turut–di usia tiga belas–jejak ayahnya.

Jibril, tertahan di atas AI-420, tenggelam dalam rapsodi termaafkan, menatap Chamca dengan mata berkilau, mengejewantahkan misteri sistem kode para pelari, swastika hitam lingkaran merah garis miring titik kuning, benaknya membayangkan sedang berlari melewati seluruh rute dari rumah ke meja kantor, sistem yang hampir mustahil dimana dua ribu dabbawalla mengantar—setiap hari—lebih dari seratus ribu rantang makan siang, dan kalau kau apes, Spoono, bisa-bisa ada lima belas yang salah taruh, dan kami buta huruf—kebanyakan—dan tanda-tanda tersebut adalah bahasa rahasia diantara kami.

Bostan mengitari London, penembak berpatroli di lorong, dan lampu di kabin penumpang dimatikan, namun energi Jibril menerangi kemuraman. Pada layar film yang dekil, dimana pada awal perjalanan, Walter Matthau—tanpa bisa dicegah—jatuh mengaduh pada penampakan Goldie Hawn di udara, tiga bayangan bergerak, sebagai proyeksi nostalgia para tawanan, dan yang paling jelas terlihat diantara ketiganya adalah remaja kurus-jangkung, Ismail Najmuddin, malaikat mami dengan topi Gandhi, berlari-lari membawa manisan India ke seluruh penjuru kota. Dabbawalla muda itu melompat cepat melewati kerumunan bayang-bayang, karena dia terbiasa dengan kondisi itu, pikirkan, Spoono, mari berandai-andai, tiga-empat puluh rantang di nampan kayu panjang di atas kepalamu, dan ketika kereta lokal berhenti, kau mungkin hanya punya satu menit untuk mendorong dirimu masuk atau keluar, lalu lari ke jalan, begitu saja, yaar, bersama truk bis skuter sepeda dan semuanya, satu-dua, satu-dua, maksi, maksi, dabba harus lewat, saat hujan muson membanjiri rel dan kereta rusak, menembus air setinggi pinggang di jalanan banjir, belum lagi tukang palak, Salad baba, sungguh, kumpulan pencuri dabba terorganisir, kota itu lapar, sayang, kukasih tahu tuh, tapi kami bisa menanganinya, kami ada di mana-mana, tahu segalanya, yang tidak didengar dan dilihat para pemalak itu, kami tak pernah berpolitik, kami menjaga diri sendiri.

Malam harinya ayah beranak akan pulang ke gubuk keletihan melalui lintasan bandara di Santacruz, dan saat ibunya Ismail melihat putranya pulang, tersinari lelampuan hijau merah kuning dari pesawat jet yang akan terbang, ia akan berkata memandangnya saja sudah membuat mimpi jadi nyata, dan itu pertanda ada yang istimewa dari Jibril, karena sejak dari semula, sepertinya, ia dapat memenuhi hasrat paling rahasia dari setiap orang tanpa dia tahu caranya. Ayahnya, Najmuddin Senior, sepertinya tak keberatan istrinya hanya punya mata untuk anaknya seorang, bahwa telapak kaki putranya dipijat sang ibu tiap malam sementara ayahnya diacuhkan tak tersentuh. Seorang putra adalah berkah dan berkah perlu diberi penghargaan oleh mereka yang ketiban berkah.

Naima Najmuddin wafat. Sebuah bus menabraknya dan begitulah, Jibril tak ada di sekitar untuk menjawab doanya agar tetap hidup. Ayah dan anak itu tak pernah mengucap duka sepatahpun. Diam-diam, seakan semua adalah hal biasa dan seperti yang sudah seharusnya, mereka mengubur kesedihan dalam kerja lebih keras, mengadakan kontes yang tak pernah terucap keras-keras, tentang siapa yang paling banyak membawa dabba di kepalanya, siapa yang paling bisa mendapat kontrak paling baru setiap bulan, siapa yang berlari lebih cepat, seakan menunjukkan makin keras kerja maka makin besar cinta. Saat dia lihat sang ayah di malam hari, dengan simpul otot menyembul di leher dan pelipis tua, Ismail Najmuddin paham bagaimana sang ayah membencinya dan hal terpenting adalah mengalahkan sang putra dan, kemudian, kembali berjaya memenangkan kasih istri yang mati. Saat ia tersadar, pemuda itu melonggar, namun semangat ayah tak memudar, dan ia segera mendapat promosi, bukan lagi sebagai pelari namun salah satu muqaddam penyelenggara. Ketika Jibril berusia sembilan belas, Najmuddin Senior menjadi anggota serikat pekerja pelari-maksi, Asosiasi Pembawa Rantang Bombay, dan ketika Jibril dua puluh, ayahnya meninggal, berhenti saat sedang di jalurnya oleh stroke yang nyaris meledakkannya. “Dia melarikan dirinya ke tanah begitu saja,” ujar sekjen perserikatan, Babasaheb Mhatre. “Bajingan malang itu, dia kehabisan tenaga.” Namun si yatim-piatu itu tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Ia tahu ayahnya telah lari cukup kencang dan lama untuk dapat menghancurkan pembatas antara dua dunia, ia akhirnya berlari keluar dari kulitnya untuk masuk ke dalam pelukan sang istri, pada siapa dia membuktikan, saat ini dan selamanya, superioritas cintanya. Beberapa orang migran memang senang sekali untuk berangkat.

Babasaheb Mhatre duduk dalam kantor biru di belakang pintu hijau di atas pasar labirin, sosok yang menakjubkan, segendut Buddha, salah satu kekuatan penggerak utama di metropolis, memiliki bakat dipuja untuk dapat duduk diam bergeming, tak pernah pindah dari ruangannya namun menjadi orang penting di mana-mana dan bertemu figur-figur terkemuka di Bombay. Sehari setelah ayah Ismail muda berlari menyeberang batas untuk bertemu Naima, Babasaheb memanggilnya. “Jadi? Kau sedih atau bagaimana?” Dijawab, dengan mata menatap lantai: ji, terima kasih, Babaji, saya baik-baik saja. “Diam,” sahut Babasaheb Mhatre. “Mulai saat ini kau tinggal denganku.” Tapitapi Babaji… “Hanya aku dan tanpa tapi. Sudah kukatakan ini pada istriku yang baik. Aku telah bersabda.” Tolong maafkan Babaji tapi bagaimana apa kapan? “Aku. Telah. Bersabda.”

Jibril Farishta tak pernah tahu mengapa Babasaheb akhirnya berbelaskasih mencabutnya dari ketiadaan masa depan di jalanan, namun setelah beberapa saat ia bisa mengira-ngira alasannya. Nyonya Mhatre adalah perempuan kurus, seperti pensil di samping Babasaheb yang mirip karet, namun luber dengan cinta keibuan hingga harusnya ia gemuk seperti kentang. Setiap Baba pulang ia akan masukkan permen dari tangannya ke mulut si suami, dan di malam hari si pendatang baru di rumah itu dapat mendengar Sekjen APRB memprotes, lepaskan aku, Ibu, aku bisa lepas baju sendiri. Saat sarapan ia suapi Mhatre dengan sesendok besar bubur, dan sebelum berangkat kerja ia sisir rambut suaminya. Mereka pasangan tanpa anak, dan Najmuddin muda mengerti mengapa Babasaheb ingin berbagi beban. Anehnya, Begum itu tidak memperlakukan si pemuda sebagai kanak-kanak. “Begini, dia sudah dewasa,” jawabnya saat Mathre yang malang memohon, “Berikan sesendok bubur jahanam itu ke si bocah.” Ya, dia sudah dewasa, “kita harus membuatnya jadi laki-laki, Bapak, bukan menimangnya.” “Kalau begitu, demi neraka,” Babasaheb meledak, “mengapa kau melakukannya padaku?” Tangis Nyonya Mhatre membuncah. “Karena kau segalanya bagiku,” ratapnya, “kau ayahku, kekasihku, dan juga bayiku. Kaulah tuanku dan anakku yang menyusu. Jika aku membuatmu tak senang, maka kematianku membentang.”

Babasaheb Mhatre, menerima kekalahan, menelan sesendok bubur sarapan.

Ia adalah lelaki yang baik yang dia tutupi dengan hinaan dan suara berisik. Untuk menghibur si pemuda yatim piatu ia akan bicara, dalam kantor biru, tentang filsafat kelahiran kembali, meyakinkan bahwa kedua orangtuanya sudah dijadwalkan untuk masuk kembali di suatu tempat entah di mana, kecuali hidup mereka sudah sedemikian suci hingga mendapat pengampunan terakhir. Jadi, Mhatre-lah yang memicu Farishta memulai urusan reinkarnasi ini, namun bukan sekedar reinkarnasi. Babasaheb adalah cenayang amatir, pengetuk kaki meja dan pembawa masuk arwah ke dalam gelas. “Tapi aku sudah tidak melakukannya,” katanya pada si anak asuh dengan banyak sekali penekanan, gestur dan kernyit melodramatis, “setelah aku berhenti dari kehidupanku yang jahanam ini.”

Satu kali (Mhatre menghitung) gelas ini dikunjungi arwah yang paling bersahabat, terlalu bersahabat, malah, jadi, kupikir aku bisa menanyakan satu pertanyaan besar padanya. “Apakah Tuhan itu ada”, dan gelas yang tadinya berlarian seperti tikus mendadak berhenti begitu saja, di tengah meja, tak bergerak sedikit pun, benar-benar deg, mandeg. Lalu kemudian, baiklah, kataku, jika kau tak mau jawab, yang ini saja, dan aku langsung meluncurkan pertanyaan, “Apakah Setan itu ada”. Selanjutnya gelas itu—baprebap!—mulai bergetar—dengar baik-baik!—pelanpelan awalnya, lalu cepat—lebih cepat seperti agar, lalu dia lompat!—ai-hai!—dari meja, ke udara, jatuh ke samping, dan—o-ho!—pecah berkeping-keping, hancur. Percaya nggak percaya, Babasaheb Mhatre ini sedang bercerita, namun saat itu dan di situ aku dapat pelajaran: jangan turut campur, Mhatre, untuk urusan yang tidak kau pahami.

Cerita ini memiliki efek mendalam bagi si pendengar muda, karena bahkan sebelum ibunya mati ia yakin akan adanya dunia supernatural. Kadangkala ketika dia memandang sekeliling, terutama di terik siang yang merubah udara jadi pekat, dunia nyata, seluruh ciri khas dan para penghuni dan semua diantaranya nampak berdiri tegak di permukaan atmosfir seperti tebaran gunung es panas, dan menurutnya semua juga terjadi di bawah permukaan udara lembab: manusia, motor, anjing, papan iklan film, pepohonan, Sembilan per sepuluh kenyataan yang disembunyikan dari mata. Ia akan berkedip, lalu ilusi itu menghilang, tapi apa yang dirasakannya tak pernah hilang benar-benar. Ia tumbuh dengan kepercayaan terhadap Tuhan, malaikat, iblis, iprit, jin, sebagai hal yang nyata seakan semua itu hanya gerobak lembu atau tiang lampu, dan menurutnya indera penglihatannya tidak bekerja semestinya karena dia tak pernah melihat hantu. Ia bermimpi menemukan ahli mata kemudian membeli kacamata bersepuh warna hijau cerah penyembuh rabun dekat yang ia sesali, setelah itu dia akan mampu menembus udara padat membutakan, melihat dunia menakjubkan di baliknya.

Dari ibunya, Naima Najmuddin, telah banyak ia dengar kisah Nabi yang agung, dan jika terdapat ketidakakuratan dalam versi si ibu dia tidak tertarik mengetahuinya. “Lelaki hebat!” begitu pikirnya. “Malaikat macam mana yang tidak ingin bicara dengannya?” Namun kadangkala ia sadar sedang berpikir tentang hal-hal yang menistai, contohnya, tanpa maksud apapun, saat hampir pulas di kasurnya di kediaman keluarga Mhatre, ninabobo itu mulai membandingkan keadaannya dengan Sang Nabi pada saat menjadi yatim dan miskin, lalu ia sukses bekerja sebagai manajer bisnis si janda kaya bernama Khadijah, dan akhirnya ia nikahi. Saat ia terlelap ia lihat dirinya duduk di singgasana jalinan mawar, tersenyum samar-samar di balik kain sari yang ia sampirkan malu-malu menutupi wajah, saat suami barunya, Babasaheb Mhatre, merengkuhnya penuh kasih lalu melucuti kain di seluruh tubuh, menatap lekuk-lekuknya melalui cermin di pangkuan. Mimpi menikahi Babasaheb membuat ia terbangun dengan wajah memerah panas karena malu, dan ia mulai khawatir tentang ketidaksucian dalam benaknya bisa menciptakan fantasi semacam itu.

Namun dalam sebagian besar kejadian dalam hidupnya, keyakinan agama adalah hal yang tak terlalu berkembang, bagian dari dirinya yang tak terlalu menuntut perhatian lebih, sama seperti hal-hal lain. Ketika Babasaheb Mhatre membawa Jibril ke rumah untuk meyakinkan bahwa dia tidak sendiri, bahwa ada yang menjaganya, sudah tentu dia tidak kaget-kaget amat saat Babasaheb memanggilnya masuk ke kantor biru pada suatu pagi di ulangtahunnya ke dua satu dan menjebaknya tanpa dia punya persiapan mendengarkan apa yang ditawarkan.

“Kau dipecat,” ujar Mhatre memberi penekanan, seperti bersinar. “Ke Kasir, minta uangmu. Sana keluar.”

“Tapi, paman,”

“Diam.”

Lalu Babasaheb memberi hadiah terbesar pada si yatim, memberitahukannya bahwa pertemuan sudah diatur di studio, dengan seorang legenda paling berpengaruh dalam dunia perfilman Tuan D. W. Rama; audisi. “Ini hanya untuk penampilan saja,” ujar Babasaheb. “Rama adalah kawan baikku dan kami telah bicara. Kau bisa mulai dengan peran kecil, kemudian semua terserah padamu. Sekarang pergi dari hadapanku dan hentikan wajah sok merendahmu itu. Nggak pantas.”

“Tapi, paman,”

“Kamu itu terlalu tampan untuk menjunjung-junjung rantang di kepala seumur hidup. Sekarang pergi, pergi, jadilah aktor film homoseksual. Aku sudah memecatmu lima menit yang lalu.”

“Tapi, paman,”

“Aku telah bersabda. Berterimakasihlah pada bintang keberuntunganmu.”

Ia kemudian menjadi Jibril Farishta, namun selama empat tahun dia tidak menjadi bintang, menjalani masa magangnya dengan keberhasilan minor komikal yang lumayan nendang. Ia tetap tenang, tak bergegas, seakan ia sudah lihat masa depannya, dan kurangnya ambisi ini membuat ia seperti orang luar di industri yang paling mencari dan dicari ini. Orang menganggapnya bodoh atau sombong atau gabungan keduanya. Dan selama empat tahunnya yang liar itu tak sekalipun ia mencium bibir perempuan.

Gambar diambil dari sini.

Glosarium:

Baba: Panggilan untuk lelaki yang lebih tua, semacam Bapak.

Babasaheb: Merujuk pada B. R. Ambedkar, seorang tokoh politik, praktisi hukum, aktivis Budhis India. Keterangan lebih lanjut, baca ini.

Yaar: Panggilan untuk sahabat, semacam dude dalam bahasa Inggris.

Gazal: Sajak klasik dari Persia. Keterangan, lihat di sini.

Begum: Dalam bahasa Hindi sehari-hari, kata ini digunakan oleh kaum laki-laki di Asia Selatan untuk merujuk kepada istri mereka sendiri atau kepada seorang perempuan yang sudah menikah atau yang menjanda.

James Thomson: Penyair dan penulis naskah drama dari Skotlandia, karyanya yang terkenal adalah The Seasons dan lirik Rule, Brittania!

Untuk catatan lebih lanjut tentang buku ini lihat di sini.